Pakar perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung
Armi Susandi mengatakan modifikasi awan yang dilakukan BNPB untuk
mencegah banjir Jakarta bisa berhasil asalkan memenuhi beberapa syarat.
Menurutnya, rekayasa cuaca ini pada dasarnya merupakan upaya mempercepat
turunnya hujan di lokasi lain.
"Dulu teknologinya dengan cara menebarkan garam dan tepung dengan
pesawat di awan mendung, sekarang bisa pakai flare (roket) yang
menembakkan garam ke awan," katanya kepada Tempo, Sabtu, 26 Januari
2013.
Garam yang bersifat hidroskopis berfungsi untuk menyerap uap air.
Dengan cara itu, proses pembentukan awan hingga matang, dimajukan satu
jam. Soalnya, garam mengganggu inti pembentukan awan.
Agar bisa berhasil, Armi mengingatkan agar pelaksana rekayasa cuaca
ini memastikan pergerakan awan setiap harinya. Soalnya, awan bergerak
sesuai tiupan angin dari laut ke darat pada siang hari dan berbalik arah
pada malam harinya. Selain itu, Armi juga minta agar target penyebaran
garam benar-benar menyasar pada awan basah. "Harus kena awan cumulus
atau cumulonimbus, kalau awannya kering tidak mungkin bisa," katanya.
Tak hanya itu, Armi menegaskan bahwa rekayasa awan harus mengikuti
karakteristik cuaca. Menurutnya, awan biasanya mulai bergerak dari subuh
hingga pukul 6 atau 7 pagi dari laut ke daratan. Berdasarkan hasil
riset karakteristik cuaca dan hujan di Jakarta sejak 2007, kata Armi,
pada hari-hari ini Jakarta tidak hujan kala siang, melainkan sore hari.
"Hujan paling cepat mulai pukul 3 sore, biasanya antara pukul 4-5 sore,"
katanya. Periode hujan yang sama terjadi di Bogor dan Depok. Armi
menyarankan hujan diturunkan sebelum mencapai Jakarta.
Selain itu, Armi menyarankan BNPB menurunkan hujan di laut pada malam
hari. "Kalau hujan turun di laut pada siang hari, malah bikin banjir
rob," katanya.
(sumber : tempo.co)